Pada 19 Juni 2015
lalu saya akhirnya saya berkesempatan untuk melakukan sesi pertama mentorship Global Shapers Fellowship. Mungkin
pertama dibahas dulu ya, apa itu Global
Shapers Fellowship. Singkatnya Global
Shapers Fellowship atau GSF adalah suatu mentorship program untuk mahasiswa/i yang berdomisili di
Jabodetabek dan Bandung. Tiap anak akan dipasangkan dengan satu mentor yang ia
pilih dan selama enam bulan ke depan mereka akan dibimbing oleh mentor tersebut.
Para mentor berasal dari Global Shapers
Jakarta Hub, salah satu inisiatif yang dibentuk oleh World Economic Forum dan tersebar di berbagai belahan dunia salah
satunya Indonesia.
Saya
beruntung terpilih dari sekitar 160 mahasiswa setelah melewati seleksi aplikasi
dan interview. Mentor saya adalah
Jourdan Hussein, seorang profesional yang memiliki pengalaman di UKP4 (Unit Kerja Presiden
Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Kak Jourdan merupakan lulusan Banchelor of Art (BA) dari Wesleyan
University serta meraih gelar Master of
Public Policy (MPP) dari Oxford Blavatnik School of Government. Ia sudah
diterima di Stanford Graduate School of Business (salah satu sekolah dengan
program MBA terbaik di dunia yang terkenal sangat selektif, rate of acceptance-nya lebih rendah dari
Harvard Business School) dan beberapa bulan ke depan akan memulai studinya di
sana.
Karena
pada saat itu Kak Jourdan masih berada di Inggris, sesi pertama ini kita
lakukan lewat skype. Sebenarnya saya
sendiri juga ragu bakal dapat kesempatan face
to face dalam 6 bulan ke depan karena kesibukan beliau, hehe. OK, intinya
kali ini kita hanya melakukan identifikasi berbagai hal yang diperlukan untuk
mencapai tujuan jangka panjang saya. Dari sini juga saya mulai melihat
kelemahan dan kelebihan yang selama ini saya punya tapi kurang saya perhatikan.
Dimulai
dari potensi, mimpi, dan prestasi. Dari dialog antara kita berdua, akhirnya
saya menyimpulkan bahwa saya adalah orang yang senang berbagi. Sebagai buktinya
saya bergabung dengan Masyarakat Relawan Indonesia, Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Bergabungnya saya dengan ACT, salah satu Non-Government
Organization (NGO) terbesar di Indonesia yang berfokus pada bidang kemanusiaan
merupakan cara saya berbagi dengan sesama. Sebagai jurnalis volunteer di sana saya berbagi melalui
tulisan. Saya juga pernah melakukan penggalangan dana kecil-kecilan (masih lewat ACT) yang
nantinya akan disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sayangnya fakta yang
satu ini tidak saya sampaikan kemarin.
Saya
juga merasa diri saya analitis dan mampu bekerja dalam tim. Hal tersebut
dibuktikan oleh program magang tiga bulan di Kantor Pusat Bank Muamalat
Indonesia dari desember sampai februari lalu. Kala itu saya harus bekerja sama
dengan beberapa mahasiswa lain untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan pada
kami, salah satu yang paling berat adalah meng-handle Branch Managers
Bank Muamalat dari seluruh wilayah di Indonesia. Bulan puasa tahun 2014 lalu
saya juga sempat magang di Bank Tabungan Negara Syariah Kantor Cabang Bekasi.
Di sini saya lebih banyak mengurus masalah administrasi. Saya dituntut untuk
memikirkan cara menyelesaikan tugas yang banyak sendirian dalam waktu yang
singkat. Namun itu saja masih sangat kurang sehingga saya berencana untuk lebih
banyak berpartisipasi dalam kepanitiaan forum/event nasional maupun
internasional sebelum masuk dunia kerja. Ada banyak event besar yang akan
diadakan agustus sampai oktober nanti, aplikasi pun sudah saya kirim. Tujuannya
tidak lain adalah untuk lebih mengasah leadership dan team work skill.
Saya
juga merasa bahasa Inggris saya termasuk baik. Tapi bukti yang ada kurang
mendukung, sebab score TOEFL saya
tahun 2011 lalu (tahun terarkhir saya mengambil tes TOEFL) walaupun lulus tidak
jauh dari angka 450. Usaha yang sudah saya lakukan untuk ini adalah mengikuti
kursus conversation english di
lembaga kursus ENTER selama 2 bulan (sekarang sudah selesai). Dari situ saya
merasa kepercayaan diri saya dalam berbicara bahasa Inggris bertambah, namun
belum cukup bagus untuk disebut profesional. Jadi, langkah selanjutnya adalah
mengambil kursus conversation dan academic writing di tempat lain agustus
nanti (sudah fix tempatnya di mana),
bergabung dengan English Debate Club,
serta tes TOEFL ulang 30 Juli 2015 nanti (edit : ternyata yang saya ambil EPT, bukan TOEFL. Dan karena ada pengunduran tes, saya belum sempat lihat hasilnya). Score
minimal yang saya ingin capai adalah 600 (karena merupakan syarat mutlak
untuk diterima di sekolah yang ingin saya tuju), kalau bisa di atas 633 (teman
saya berhasil mencapai score 633,
saya jadi merasa tertantang untuk mengalahkan dia, hehe).
Ledaership skill saya ternyata lebih
meprihatinkan. Saya belum pernah memegang posisi leader dalam suatu organisasi (terhitung saat sesi mentorship pertama Juni kemarin). Namun
mulai bulan Juli ini, saya terpilih sebagai Campus
Ambassador yang menghubungkan UIN Jakarta dan YouthsToday.com (Klik di sini untuk cari tahu lebih lanjut mengenai
YouthsToday.com). Saya memiliki partner
dari jurusan Hubungan Internasional, dan bersama-sama kami memiliki misi untuk
mencari minimal 10 orang peserta untuk berpartisipasi dalam The ASIA Youth
Awards 2015 yang diselenggarakan oleh YouthsToday.com serta membimbing mereka
sampai kompetisi selesai. Ada beberapa program dalam beberapa bulan ke depan yang ingin saya gabung untuk melatih sisi leadership agar lebih baik lagi.
Mimpi
saya adalah membantu negara menyelesaikan banyaknya permasalahan yang masih
melanda dan membantu lebih banyak orang. Terdengar klise ya, hehe. Saat ditanya
prestasi, sebenarnya saya agak minder karena sejauh ini saya belum pernah
menjuarai kompetisi-kompetisi setingkat nasional, apalagi internasional. Tapi
akhirnya saya punya juga sesuatu untuk “disebutkan”. Saya sempat menjadi
juara dua seleksi pertama beasiswa DIPA jurusan IPS se-Jawa Barat. Seleksi
pertama berupa tes mata pelajaran sementara yang kedua berhubungan dengan
masalah administrasi. Di sinilah saya gagal. Saya juga sering juara kelas dan
menjadi juara seangkatan dari jurusan IPS semasa SMA (Ini lupa saya sebutkan). Sempat
saya tekankan juga bahwa tulisan saya (berupa cerpen) pernah dimuat di majalah
remaja. Intinya skill menulis saya
nggak jelek-jelek amatlah.
Kemudian
Kak Jourdan bertanya public figure
yang sangat ingin saya temui. Spontan saya menjawab Sri Mulyani Indrawati dan Prof.
Yohanes Surya. Saya memang sudah lama kagum pada sosok Sri Mulyani. Beliau memang
terkenal karena keberhasilannya bergabung dengan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank Group. Yang agak memalukan adalah saat ditanya “Kamu
tahu nggak Bu Sri Mulyani sedang di Indonesia sekarang?”. Sejujurnya saya sama
sekali nggak tahu. Seusai sesi itu saya coba cari sumber-sumber seperti twitter atau fanpage facebook yang memungkinkan saya untuk mendapatkan update
jadwal Bu Sri Mulyani tapi hasilnya nihil.
Prof. Yohanes
Surya memang nggak ada kaitannya sama sekali dengan bidang yang saya geluti.
Tapi saya sempat hadir dalam program Super Mentor-nya Dino Patti Djalal, di
mana beliau datang dan menceritakan pengalamannya mengajar anak-anak Papua. Di
situ saya sangat merasa terinspirasi dan bertekad untuk menjadi pribadi yang
lebih berguna bagi lebih banyak orang.
Sebelumnya
saya sudah diminta memikirkan sekolah lanjutan yang ingin dituju (kalau mau lanjut).
Berdasarkan riset singkat yang saya lakukan di internet, sekolah yang terkenal
memiliki program MPP yang bagus adalah Goldman School of Public Policy
UC-Berkeley dan Harvard Kennedy School of Government. Nggak tanggung-tanggung
ya targetnya, hehe. Ujung-ujungnya kalau nggak diterima ya ambil Magister Perencanaan
dan Kebijakan Publik, Konsentrasi Keuangan dan Perbankan di UI (itu juga kalau diterima). Setelah mengeluhkan keterbatasan sumber, Kak Jourdan menyarankan
saya untuk membuka beberapa situs yang dapat membantu pencarian saya, yakni Times Higher Education Ranking, The Guardian, The Economist Rank, dan Shanghai
Jiatong Rank. Dapatlah beberapa nama sekolah seperti London School of Economics and Political Science (LSE), Oxford Blavatnik School of Government (tempat
Kak Jourdan menyandang gelar MPP), Science
Po di Paris, serta Heartie School
di Berlin.
Kak
Jourdan bilang saya perlu pengalaman kerja sebelum lanjut S2. Hal tersebut
sebenarnya memang sudah saya rencanakan. Oleh karena ingin menjadikan public policy sebagai karir masa depan,
saya berharap dapat segera bergelut di bidang tersebut setelah lulus. Public policy yang saya maksud di sini
adalah yang fokusnya moneter dan keuangan seperti Kementrian Keuangan, Bank Indonesia
(BI), atau (ujung-ujungnya) Bank Syariah untuk sementara. Pengetahuan mengenai
profesi yang saya inginkan sangat minim. Sejauh ini yang terpikir adalah researcher, marketing, dan dosen setelah menyandang gelar master. Namun
kemudian Kak Jourdan menyanggah bahwa saya butuh S3 untuk jadi dosen. Saya
memang belum terpikir sampai sejauh itu. Seusai sesi
saya langsung cari-cari info jalur masuk BI di internet dan menginterogasi
senior yang pernah magang di sana.
Sebelum
mengakhiri sesi, saya diberi kesempatan untuk tanya-tanya. Pertanyaan pertama
yang saya ajukan adalah persepsi Kak Jourdan tentang bank syariah. Ternyata
komentarnya positif. Ketahanan bank syariah terhadap krisis 1997 dan 2008
membuktikan bahwa perhatian terhadap sektor ini memanglah perlu. FYI, kakak beliau
adalah orang BI bagian Bank Syariah yang merupakan lulusan International
Islamic University Malaysia (IIUM) dan Durham University. Saya cukup kaget
waktu beliau bilang kakaknya (yang sampai saat ini masih saya cari tahu
namanya) pernah masuk UIN namun keluar sebelum
selesai dan memutuskan untuk pindah ke IIUM karena dirasa kurang bagus. Katanya
ia bisa membantu saya bertemu dan berdialog dengan kakaknya bila sudah siap
dengan pertanyaan lengkap, sebab beliau orang sibuk.
Saya sempat tanya kenapa Kak Jourdan mengambil program MPP dan MBA karena jelas keduanya benar-benar berbeda. Ternyata ia sama sekali tidak berminat untuk lanjut ke pemerintahan, MPP ia gunakan untuk melatih cara berpikir. Sedangkan MBA karena ingin mencapai financial freedom dulu. Kenapa Stanford GSB, dan bukan Harvard Business School (HBS)? Menurutnya anak-anak di Stanford lebih chill, nggak seperti (lulusan) Harvard yang (walaupun nggak semua) agak-agak sombong. Lokasi yang dekat dengan Sillicon Valley juga menjadi alasan. Selain itu Stanford GSB punya program khusus yang mempelajari NGO (Kak Jourdan merupakan kontributor di Sabang Merauke).
Akhirnya
sesi ditutup karena sudah masuk waktu buka puasa di Indonesia. Sejujurnya
selama sesi saya masih agak kaku-kaku gitu, haha. Terimakasih banyak Kak
Jourdan Hussein atas sharing-nya yang
sangat bermanfaat. Beberapa hari kemudian saya pergi ke Gramedia untuk membeli
karton besar, tempat saya mencoret-coret target selama beberapa tahun ke depan.
Benar-benar dapat lebih banyak gambaran dari sini. Nggak sabar untuk sesi
selanjutnya! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar